5 Menit Mengajarkan Anak untuk Jujur

Mengajarkan Anak untuk Jujur

Setiap orang pasti lebih menyukai sebuah kejujuran. Secara otomatis mereka sama sekali tidak menyukai berpura – pura atau menutup – nutupi. Sama halnya dengan orang tua. Setiap orang tua tentunya lebih menyukai sikap jujur dari anak – anak mereka. Akan tetapi, hampir sebagian besar anak memiliki ketakutan yang besar apabila harus berkata atau bertindak jujur di depan kedua orang tua. Alasannya sepele, mereka takut dimarahi, takut mendapatkan hukuman atau mungkin takut tidak mendapatkan uang jajan. Seperti yang dilakukan Lani anak berusia sembilan tahun.

Suatu pagi di sekolah, dia lupa mengerjakan PR. Alhasil banyak coretan tinta merah di lembaran bukunya. Dia tak memiliki nyali untuk meminta tanda tangan kepada ayah untuk nilai buruknya itu. Dia memang tidak berani untuk berterus terang secara verbal kepada ayahnya. Namun dia lebih berani berterus terang dengan sepucuk surat.

Apa yang dilakukan Lani adalah sebuah usaha yang luar biasa. Usaha yang patut diberi penghargaan besar. Tidak semua anak berani berkata atau bertindak jujur. Jujur merupakan karakter bernilai moral yang diaplikasikan melalui tindakan atau ucapan berterus terang dengan maksud mempertahankan kepercayaan dari orang lain.

Dengan kejujuran anak mampu menyortir pikiran negatif seperti “Aku harus menyalakan orang lain agar aku tidak dihukum” atau “Aku pura – pura tidak tahu saja agar Ayah dan Bunda percaya padaku.”

Karakter jujur tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Yang perlu orang tua ingat adalah kejujuran juga merupakan suatu skill yang perlu diasah sejak dini. Seorang anak berusia tiga tahun bisa saja kabur dan merasa tidak bersalah setelah menumpahkan makanannya. Namun, jika saat itu orang tua memberi pemahaman kepada anak balita itu, anak akan tahu bahwa tindakan kabur itu tidak dibenarkan.

Ini Hadiah Untukmu, Nak!

Memberi hadiah pada anak tak selalu harus menunggu saat anak ulang tahun. Atau mungkin menunggu moment penerimaan rapor. Hadiah yang diberikan pada anak tak selamanya pula dalam bentuk materi dan benda mahal. Seperti yang saya lakukan pada putri saya sendiri.

Suatu siang dalam keadaan lelah dengan pekerjaan rumah serta cuaca yang terik, tiba – tiba terdengar suara dari ruang depan. Saya bergegas ke depan. Terlihat anak saya berdiri terdiam dan air yang berceceran di lantai.

Gelas plastik berisi air minum miliknya tumpah. “Gelasnya jatuh.” ucap anak saya dengan raut wajah takut. Saya mendekat kemudian memeluknya. “Bunda gak marah?” tanya dia dengan polos. Saya menggeleng. “Bunda justru kasih Adek hadiah pelukan, karena Aku sudah jujur mengakui bahwa Adik yang menumpahkannya.”

Ayah – Bunda, memberikan hadiah dalam bentuk “tidak memarahi anak” ketika mereka berperilaku atau berkata jujur adalah hadiah dengan nilai terbaik. Respon ketidakramahan kita akan menjadi pupuk yang mujarab dalam membentuk karakter jujur dalam diri anak. Serta akan memunculkan rasa percaya diri secara perlahan – lahan.

Ayah Bunda, Dengarkan Aku!

Keberanian anak dalam mengungkapkan kejujurannya patut orang tua hargai. Cara menghargai hal tersebut sangatlah mudah. Yaitu dengan mendengarkan cerita kejujurannya. Sepahit dan sekecewa apapun orang tua terhadap anak, bukan berarti kita tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan isi hatinya.

Seperti yang dialami Pak T. Suatu hari dia mendapati uang dalam celengannya tersisa beberapa keping uang logam. Uang lain di dalam celengannya telah dipakai habis oleh putrinya.

Putrinya mengaku bahwa memang uang itu telah dipakainya, karena saat itu dia membutuhkan untuk membayar baju perpisahan sekolah. Pak T sudah pasti kecewa, namun dia tidak serta merta memvonis anaknya seorang pembohong atau pencuri. Pak T mendengarkan setiap kata kejujuran dari mulut putrinya.

Membiarkan anak berproses untuk menjadi seseorang yang berani dan bertanggungjawab atas sebuah kesalahan adalah tugas orang tua. Melalui kejujuran inilah anak belajar kedua hal tersebut. Buat anak kita merasa nyaman dengan kejujuran yang telah dia ungkapkan. Ini menunjukkan bahwa kita juga belajar menjadi orangtua yang lebih bijaksana.

Salahkah Jika Aku Berbohong, Ibu?

Tidak ada kebohongan yang dibenarkan jika dilihat dari sudut pandang masyarakat pada umumnya. Apabila kebohongan adalah sebuah kesalahan, maka ajak anak kita untuk menyadari jujur merupakan hal yang sangat dibenarkan. Seperti yang dialami Bu Wulan dan anaknya.

Sepulang menjemput anaknya, Bu Wulan mendapati buku catatan sekolah anaknya yang robek. Dia bertanya “Halaman ini dimana, Kak? ” Anaknya menjawab ” Dirobek oleh teman.” Bu Wulan tak percaya begitu saja. Dia pun membuka setiap saku tas anaknya. Selembar kertas yang tertera angka “nol” besar dengan pulpen merah ada di saku samping tas.

Bu Wulan mencoba meredam rasa marah. Dia melihat raut wajah anaknya yang tampak begitu takut. ” Mengapa nilaimu seperti ini?” tanya Bu Wulan. “Kakak belum paham, Bu.” jawab anaknya singkat.

Bu Wulan paham betul dengan anaknya itu. Jika memang dia belum paham pasti dia memang betul – betul tidak paham pada pelajaran di sekolah. Bu Wulan kembali berkata padanya, ” Nak, ibu tidak mempermasalahkan nilaimu.

Nanti malam kita belajar bersama, agar besok nilaimu lebih baik. Ibu janji, kalau kamu semangat belajar dan nilaimu lebih baik akan Ibu beri hadiah. Tapi alangkah baiknya jika kamu tak merobek bukumu. Ibu lebih bangga karena kamu sudah mau bersikap jujur. ”

Menanamkan bahwa kebohongan bukan hal yang menguntungkan bukan hal sulit. Selama orang tua tidak sebelah mata memvonis anaknya pembohong. Bimbing dan ingatkan selalu akan hal baik tentang kejujuran. Maka anak pun akan tumbuh dengan pribadi yang baik pula.

Memang terkadang jika anak kita berbohong, hal tersebut membuat orang tua terpancing emosi. Dan ketika anak kita berusaha untuk terbuka dan jujur atas kebohongannya itu, emosi kita akan mudah meledak karena kita sudah terlanjur kecewa.

Tanpa kita berpikir bahwa amarah yang kita luapkan itu bisa membuat anak kita menjadi berkecil hati. Oleh karena itu ayah bunda tahan emosi kita saat anak sedang jujur. Sehingga anak selalu merasa nyaman kejujurannya kepada kita.

Penulis : Agustina Wulandari Sutoro, S.Pd

Instagram : @agustina0890